Pendidikan: Mesin Produksi Budak Sistem dalam Balutan Seragam

Pendidikan: Mesin Produksi – Pendidikan, yang katanya gerbang menuju masa depan, hari ini tak lebih dari pabrik penjinakan massal. Sekolah-sekolah menjelma jadi tempat di mana anak-anak dipaksa seragam—cara berpikirnya, cara berbicara, bahkan cara duduk. Disiplin di jadikan dalih untuk membungkam keberanian, dan kurikulum tak memberi ruang untuk rasa ingin tahu. Siapa yang berbeda, akan di anggap aneh. Siapa yang bertanya terlalu banyak, akan diberi label pembangkang.

Anak-anak di paksa mengejar nilai, bukan ilmu. Di dorong menghafal tanpa paham, di beri tugas tanpa makna, di kejar ujian yang tak pernah mengukur kecerdasan sejati. Sekolah hari ini tidak merayakan keberagaman potensi, tapi justru menekannya. Anak yang pandai menggambar di anggap malas belajar. Yang jago olahraga di anggap tidak pintar. Padahal, dunia nyata tidak menanyakan berapa skor matematika di rapor, tapi seberapa mampu seseorang menyelesaikan masalah slot bonus.

Guru Bukan Lagi Penginspirasi, Tapi Operator Kurikulum

Dulu, guru adalah sosok yang di teladani. Sekarang, banyak guru terjebak dalam sistem yang membunuh idealisme mereka. Mereka di cekik oleh tumpukan administrasi, aturan birokrasi yang membingungkan, dan tekanan angka dari atasan. Kreativitas menjadi barang mewah yang jarang bisa keluar dari kerangkeng silabus.

Guru harus mengejar target, bukan mendidik dengan hati. Mereka di ukur dari seberapa lengkap laporan pembelajarannya, bukan dari berapa banyak murid yang merasa di dengarkan dan di pahami. Mereka harus menyesuaikan diri dengan sistem yang lebih peduli pada akreditasi daripada pembentukan karakter. Sistem yang membuat guru baik menjadi frustasi, dan guru asal-asalan tetap bertahan karena kenyamanan rutinitas.

Kurikulum yang Mati Rasa

Setiap tahun pemerintah sibuk mengganti nama kurikulum, dari KTSP, K13, hingga Kurikulum Merdeka. Tapi yang berubah hanya bungkusnya, bukan isinya. Inti dari semua kurikulum itu tetap sama: memberi tahu anak-anak apa yang harus mereka pikirkan, bukan mengajarkan mereka bagaimana cara berpikir. Pendidikan kita masih terpaku pada hafalan, bukan pemahaman. Pada teori kaku, bukan praktik hidup.

Pelajaran sejarah hanya bicara tentang tahun dan tokoh, bukan bagaimana membentuk kesadaran kritis tentang masa lalu. Sains menjadi daftar rumus yang harus di ingat, bukan alat untuk memahami dunia secara logis dan empiris. Pelajaran bahasa menjadi ajang membedah struktur kalimat, bukan medium untuk menyampaikan gagasan dan emosi.

Dan ironisnya, semua itu di paksa masuk ke kepala anak-anak dalam kelas-kelas sempit, dengan waktu yang terbatas, dengan guru yang kelelahan.

Pendidikan Mahal, Tapi Miskin Makna

Di negeri ini, untuk bisa mengakses pendidikan yang “layak” adalah soal kemampuan dompet, bukan soal hak sebagai warga negara. Sekolah negeri yang gratis kerap kekurangan fasilitas. Sementara sekolah swasta berkualitas, biayanya bisa setara satu unit kendaraan bermotor per tahun. Pendidikan telah menjadi komoditas. Siapa yang punya uang, bisa memilih masa depan. Yang tidak? Harus puas dengan sisa-sisa sistem.

Mahasiswa harus menanggung utang pendidikan. Orang tua harus bekerja siang malam hanya untuk membayar SPP. Dan apa hasilnya? Sebuah ijazah yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan kita mencetak sarjana, bukan problem solver. Mencetak lulusan, bukan pemimpin. Maka jangan heran jika pengangguran terdidik terus meningkat, dan frustrasi sosial meledak dalam berbagai bentuk.

Sistem yang Tak Siap Membentuk Manusia Merdeka

Pendidikan seharusnya membebaskan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Anak-anak di program untuk patuh, untuk mengikuti alur, untuk tidak mempertanyakan. Di usia remaja, mereka lebih akrab dengan LKS daripada kenyataan hidup. Mereka lebih sibuk memikirkan UN daripada memahami jati diri. Mereka tidak pernah di ajarkan cara mengelola emosi, menghadapi kegagalan, atau membangun hubungan sosial yang sehat.

Sistem ini bukan hanya membatasi ruang gerak mereka, tapi juga mencuri masa depan mereka. Ketika sekolah gagal menanamkan keberanian, rasa ingin tahu, dan kemandirian, maka generasi yang lahir darinya hanya akan jadi roda dalam mesin—berputar tanpa arah, bekerja tanpa visi, hidup tanpa tujuan.

Dan tragisnya, semua ini terjadi dalam sistem yang mengklaim sedang “mencerdaskan kehidupan bangsa”.